Untuk mencapai sebuah kebenaran ada beberapa tahapan yang harus dilalui, baik itu rasional, hipotesa, kausalitas, anggapan sementara, teori, atau sudah menjadi hukum kebenaran. Tahapan untuk mendapat kebenaran tersebut dapat dilihat dengan menggunakan alat kajian filsafat, baik filsafafat Yunani, filsafat Barat, ataupun filsafat Islam.
Oleh karena itu pemakalah akan membahas sekitar kriteria kebenaran ditinjau dalam pendekatan filsafat sebagai salah satu bagian dari dasar-dasar pengetahuan. Apakah itu kebenaran, bagaimana proses pengetahuan dianggap benar. serta bagaimana mendapatkan kebenaran dengan berbagai macam pendekatan ilmiah. Paling tidak sebagai pijakan kriteria kebenaran yang mana yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Kebenaran tertuang dalam ungkapan-ungkapan yang dianggap benar, misalnya hukum-hukum, teori-teori, ataupun rumus-rumus filasafat, juga kenyataan yang dikenal dan diungkapkan. Mereka muncul dan berkembang maju sampai pada taraf kesadaran dalam diri pengenal dan masyarakat pengenal. Sebelum mencapai kebenaran yang berupa pernyataan dengan pendekatan teori ilmiah sebagaimana kerangka ilmiah, akan lebih baik jika kita mengetahui terlebih dahulu pengetahuan ini bersifat logis dan rasional tidak.
. Kebenaran moral menjadi bahasan etika, ia menunjukkan hubungan antara yang kita nyatakan Sebagaimana diungkap Ahmad Tafsir dalam kerangka berfikir sebagai berikut:
1. Yang logis ialah yang masuk akal
2. Yang logis itu mencakup yang rasional dan supra-rasional
3. Yang rasional ialah yang masuk akal dan sesuai dengan hukum alam
4. Yang supra-rasional ialah yang masuk akal sekalipun tidak sesuai dengan hukum alam.
Istilah logis boleh dipakai dalam pengertian rasional atau dalam pengertian supra. Beberapa definisi kebenaran dapat kita kaji bersama dari beberapa sumber, antara lain; Kamus umum Bahasa Indonesia ( oleh Purwadarminta), arti kebenaran yaitu:
1. Keadaan yang benar ( cocok dengan hal atau keadaan sesungguhnya)
2. Sesuatu yang benar ( sunguh-sungguh ada, betul demikian halnya)
3. Kejujuran, ketulusan hati
4. Selalu izin, perkenan
5. Jalan kebetulan, kebenaran dikelompokkan dalam tiga makna, yaitu kebenaran moral, kebenaran logis dan kebenaran metafisikdengan apa yang kita rasakan. Kebenaran logis menjadi bahasan epistemology, logika dan psikologi, ia merupakan hubungan antara pernyataan dengan realitas objektif. Sedangkan kebenaran metafisik berkaitan dengan yang ada sejauh berhadapan dengan akal budi, karena yang ada mengungkapkan diri kepada akal budi. Yang ada merupakan dasar dari kebenaran, dan akal budi yang menyatakannya. Menurut teori kebenaran metafisik/ontologis, kebenaran adalah kualitas individual atas objek, ia merupakan kualitas primer yang mendasari realitas dan bersifat objektif, ia didapat dari sesuatu itu sendiri. Kita memperolehnya melalui intensionalitas, tidak diperoleh dari relasi antara sesuatu dengan sesuatu, misal kesesuaian antara pernyataan dengan fakta. Dengan demikian kebenaran metafisis menjadi dasar kebenaran epistemologis, pernyataan disebut benar kalau memang yang mau dinyatakan itu sungguh ada. Sedangkan menurut Noeng Muhajir, eksistensi kebenaran dalam aliran filsafat yang satu berbeda dengan aliran filasafat lainnya. Positivisme hanya mengakui kebenaran yang dapat ditangkap secara langsung atau tak langsung lewat indra. Idealisme hanya mengakui kebenaran dunia ide, materi itu hanyalah bayangan dari dunia. Sedangkan Islam berangkat dari eksistensi kebenaran bersumber dari Allah SWT. Wahyu merupakan eksistensi kebenaran yang mutlak benar. Eksisitensi wahyu merupakan kebenaran mutlak, epistemologinya yang perlu dibenahi, juga model logika pembuktian kebenarannya. Model logika yang dikembangkan di dunia Islam adalah logika formal Aristoteles dengan mengganti pembuktian kebenaran formal dengan pembuktian materil atau substansial, dan pembuktian kategorik dengan pembuktian probabilitas.
6. Lebih jauh Noeng Muhajir menawarkan epistemology berangkat dari dua postulat,pertama semua yang gaib ( Zat Allah, alam barzah, surga dan neraka) itu urusan Allah, bukan kawasan ilmu, sedangkan alam semesta dengan beribu galaxy yang terbentang di muka kita adalah kawasan ilmu yang dapat kita rambah. Kedua manusia itu makhluk lemah dibanding kebijakan Allah, sehingga kebenaran mutlak dari Allah tidak tertangkap oleh manusia.
7. Pandangan Ibnu Rushd yang menyatakan bahwa jalan filsafat merupakan jalan terbaik untuk mencapai kebenaran sejati dibanding jalan yang ditempuh oleh ahli agama, telah memancing kemarahan pemuka agama, sehingga mereka meminta kepada khalifah yang memerintah di Spanyol untuk menyatakan Ibnu Rushd sebagai atheis. Sebenarnya apa yang dikemukakan oleh Ibnu Rushd sudah dikemukakan pula oleh Al Kindi dalam bukunya Falsafah El Ula (First Philosophy). Al Kindi menyatakan bahwa kaum fakih tidak dapat menjelaskan kebenaran dengan sempurna, oleh karena pengetahuan mereka yang tipis dan kurang bernilai (Haeruddin, 2003).
8. Dengan melihat berbagai kajian tentang kebenaran sebagai dasar-dasar pengetahuan, penulis berpendapat bahwa terdapat keanekaragaman kebenaran itu sendiri, tergantung berangkat dari disiplin ilmu apa, pendekatan apa yang dipakai dalam menentuan kebenaran, dan aliran filsafat apa yang dijadikan paradigma berpikir. Bagi kalangan agama kebenaran yang berasal dari wahyu Allah adalah mutlak kebenarannya.
ORANG bijak mengatakan, di luar ajaran agama, kebenaran datang dari ketidakbenaran. Begitu juga sebaliknya. Jadi, kebenaran dan ketidakbenaran menjadi sangat diperlukan. Sebab, tak ada kebenaran kalau tidak ada ketidakbenaran. Bahkan, ada yang mengatakan, kebenaran dan ketidakbenaran akhirnya sama saja, bergantung kepentingan yang melatarbelakangi atau yang diperjuangkan. Bisa jadi, hari ini dipahami sebagai benar, esok bisa bergeser jadi tidak benar. Hari ini dipahami sebagai tidak benar, bisa pula esok dipahami benar. Itulah dinamika. Maka, akibatnya, di antara ruang benar dan tidak benar itu terjadilah pergulatan pemikiran yang kadang bisa seru, menyangkut masalah aturan yang harus ditaati (taat asas) atau tuntutan keadilan yang harus dipenuhi. Pergulatan tersebut susah berhenti, sangat menyita energi, karena tiap tiap pihak merasa paling benar. Berbicara tentang kebenaran ilmiah tidak bisa dilepaskan dari makna dan fungsi ilmu itu sendiri sejauh mana dapat digunakan dan dimanfaatkan oleh manusia. Di samping itu proses untuk mendapatkannya haruslah melalui tahap-tahap metode ilmiah. Kriteria ilmiah dari suatu ilmu memang tidak dapat menjelaskan fakta dan realitas yang ada. Apalagi terhadap fakta dan kenyataan yang berada dalam lingkup religi ataupun yang metafisika dan mistik, ataupun yang non ilmiah lainnya. Di sinilah perlunya pengembangan sikap dan kepribadian yang mampu meletakkan manusia dalam dunianya.
Penegasan di atas dapat kita pahami karena apa yang disebut ilmu pengetahuan diletakkan dengan ukuran, pertama, pada dimensi fenomenalnya yaitu bahwa ilmu pengetahuan menampakkan diri sebagai masyarakat, sebagai proses dan sebagai produk. Kedua, pada dimensi strukturalnya, yaitu bahwa ilmu pengetahuan harus terstruktur atas komponen-komponen, obyek sasaran yang hendak diteliti (begenstand), yang diteliti atau dipertanyakan tanpa mengenal titik henti atas dasar motif dan tata cara tertentu, sedang hasil-hasil temuannya diletakkan dalam satu kesatuan sistem (Wibisono, 1982).
Tampaknya anggapan yang kurang tepat mengenai apa yang disebut ilmiah telah mengakibatkan pandangan yang salah terhadap kebenaran ilmiah dan fungsinya bagi kehidupan manusia. Ilmiah atau tidak ilmiah kemudian dipergunakan orang untuk menolak atau menerima suatu produk pemikiran manusia.
Pengertian Kebenaran
Maksud dari hidup ini adalah untuk mencari kebenaran. Tentang kebenaran ini, Plato pernah berkata : Apakah kebenaran itu? lalu pada waktu yang tak bersamaan, bahkan jauh belakangan Bradley menjawab : Kebenaran itu adalah kenyataan, tetapi bukanlah kenyataan (dos sollen) itu tidak selalu yang seharusnya (dos sein) terjadi. Kenyataan yang terjadi bisa saja berbentuk ketidakbenaran (keburukan).
Jadi ada 2 pengertian kebenaran, yaitu kebenaran yang berarti nyata-nyata terjadi di satu pihak, dan kebenaran dalam arti lawan dari keburukan (ketidakbenaran) (Syafii, 1995).
Dalam bahasan ini, makna kebenaran dibatasi pada kekhususan makna kebenaran keilmuan (ilmiah).
Kebenaran ini mutlak dan tidak sama atau pun langgeng, melainkan bersifat nisbi (relatif), sementara (tentatif) dan hanya merupakan pendekatan (Wilardo, 1985:238-239).
Kebenaran intelektual yang ada pada ilmu bukanlah suatu efek dari keterlibatan ilmu dengan bidang-bidang kehidupan. Kebenaran merupakan ciri asli dari ilmu itu sendiri. Dengan demikian maka pengabdian ilmu secara netral, tak bermuara, dapat melunturkan pengertian kebenaran sehingga ilmu terpaksa menjadi steril. Uraian keilmuan tentang masyarakat sudah semestinya harus diperkuat oleh kesadaran terhadap berakarnya kebenaran (Daldjoeni, 1985:235). Selaras dengan Poedjawiyatna (1987:16) yang mengatakan bahwa persesuaian antara pengatahuan dan obyeknya itulah yang disebut kebenaran. Artinya pengetahuan itu harus yang dengan aspek obyek yang diketahui. Jadi pengetahuan benar adalah pengetahuan obyektif. Meskipun demikian, apa yang dewasa ini kita pegang sebagai kebenaran mungkin suatu saat akan hanya pendekatan kasar saja dari suatu kebenaran yang lebih jati lagi dan demikian seterusnya. Hal ini tidak bisa dilepaskan dengan keberadaan manusia yang transenden,dengan kata lain, keresahan ilmu bertalian dengan hasrat yang terdapat dalam diri manusia. Dari sini terdapat petunjuk mengenai kebenaran yang trasenden, artinya tidak henti dari kebenaran itu terdapat diluar jangkauan manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar